Disiplin: Jalan Pulang yang Kutemukan Lagi

Sejak kecil, hidupku bisa dibilang seperti jadwal kereta yang padat dan tepat waktu. Pagi sekolah, sore les, malam belajar. Dari Senin sampai Sabtu aku rutin ikut bimbingan belajar di INTEN selama tiga jam sepulang sekolah, ditambah les privat. Hari Minggu pun tetap kupakai untuk belajar mandiri. Hidupku bukan “healing”, tapi “drilling”. Hasilnya terlihat dari prestasi. Dari SD sampai SMA aku selalu masuk tiga besar, dan di rapor SMA aku pernah mencatat delapan nilai sempurna. Orang-orang sering menyebutku pintar, tapi aku tahu itu bukan soal bakat, melainkan karena terbiasa hidup dalam disiplin.

Aku lolos kuliah melalui jalur undangan. Orang-orang mengira setelah itu hidupku akan terus mulus. Kenyataannya, justru di situlah perjalanan asliku dimulai. Kuliah memperkenalkanku pada sesuatu yang tidak pernah benar-benar kupahami sebelumnya: kebebasan. Tidak ada yang mengawasi, tidak ada guru yang menagih tugas, tidak ada absen yang membuatku takut ditegur. Awalnya kebebasan itu terasa menyenangkan. Terlalu menyenangkan, sampai aku lupa arah. Satu per satu kebiasaan baik saat sekolah dulu lenyap tanpa terasa.

Sampai akhirnya Kartu Hasil Studi semester satu keluar. IP-ku 3.44. Banyak yang akan bilang hasil itu bagus. Tapi untuk seseorang yang terbiasa mengejar nilai sempurna sejak kecil, angka itu terasa seperti tamparan yang cukup keras. Malam itu aku duduk lama di kamar, merenung. Ada sesuatu yang hilang dari diriku. Bukan kemampuan, tetapi disiplin. Saat sekolah dulu aku rajin bukan karena tiba-tiba semangat, tetapi karena ada struktur yang mengatur hidupku. Ketika masuk kuliah dan semua bergantung pada diriku sendiri, aku kehilangan kendali tanpa sadar.

Semester dua menjadi titik balikku. Aku sadar bahwa aku tidak perlu berubah secara drastis, aku hanya perlu kembali pada kebiasaan sederhana yang selama ini kulupakan. Aku mulai memaksa diriku memperhatikan dosen di kelas meskipun kadang harus berjuang melawan kantuk yang luar biasa. Di luar kelas, aku mulai belajar mandiri lagi dan mengeksplor hal-hal baru yang belum diajarkan, misalnya web development. Aku membangun proyek-proyek kecil dan mulai memperluas relasi untuk menambah pengalaman. Setiap malam sebelum tidur aku membiasakan diri mengulang materi kuliah setidaknya tiga puluh menit. Kebiasaan kecil itu mungkin terlihat sepele, tetapi konsistensi kecil lebih berarti dibanding niat besar yang hanya tinggal rencana.

Perlahan tapi pasti, hasilnya terlihat. IP semester dua meningkat menjadi 3.89. Bukan angka yang membuatku merasa sombong, tetapi cukup untuk membuatku tersenyum. Di situ aku belajar sesuatu. Untuk mencapai sesuatu tidak perlu merasa hebat. Yang penting adalah tetap bergerak meski pelan, tetap fokus meski sempat jatuh. Bakat bisa memenangkan awal pertandingan, tetapi disiplinlah yang menentukan garis akhir.

Pada akhirnya aku menyadari bahwa setiap orang mungkin tidak akan langsung menjadi yang terbaik, tetapi setiap orang bisa menjadi lebih baik dari dirinya yang kemarin. Dan aku percaya, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Yang sering mengkhianati adalah rasa malas, alasan, dan kebiasaan menunda.